Rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 membahas mengambil keputusan mengesahkan

Berikut ini adalah pertanyaan dari t63540082 pada mata pelajaran IPS untuk jenjang Sekolah Menengah Atas

Rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 membahas mengambil keputusan mengesahkan UUD 45 terjadi perdebatan yang terus mengenai bunyi dan titik Pancasila karena berbagai reaksi dari rakyat Indonesia bagian timur Bung Hatta menemui tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh kemudian draft Pembukaan UUD direvisi kemudian lahirlah Rumusan teks pancasila yang disahkan pada tanggal tersebut diatas pada pernyataan di atas yang menjadi isu krusial Sebelum rapat dimulai memandang bahwa segera ada perubahan tentang.a. UUD 1945 agar segera disahkan sebelum tanggal 19 Agustus 1945

b. Segera memutuskan UUD 45 dalam sidang pleno

c. kaum muda ingin segera UUD 45 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945

b. keberatan rakyat dari Indonesia bagian Timur tentang isi bunyi Pancasila butir pertama​

Jawaban dan Penjelasan

Berikut ini adalah pilihan jawaban terbaik dari pertanyaan diatas.

Jawaban:

Mohammad Hatta baru pulang dari Rengasdengklok. Ia harus begadang dan sahur di rumah Laksamana Maeda. Hatta dan Sukarno harus merampungkan naskah Proklamasi. Sesudahnya Hatta sahur dengan roti, telur, dan sarden. Setelah pulang sebentar, pagi hari 17 Agustus, ia berdiri di samping Sukarno untuk membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Namun, situasi di masa revolusi itu tak bikin jenak. Baru tadi pagi Proklamasi dibacakan, Hatta mesti menghadapi situasi pelik yang bisa bikin negara baru ini terancam cerai.

Sore itu, 17 Agustus, sebagaimana ditulis dalam autobiografinya, Mohammad Hatta: Memoir (1979), ia kedatangan seorang opsir Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Di Indonesia, Kaigun berkuasa di wilayah Indonesia timur plus Kalimantan.

“Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang (tinggal di wilayah yang) dikuasai Kaigun, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-undang Dasar, yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Kalimat itu bagian dari kesepakatan yang disusun oleh Panitia Sembilan, bentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kesepakatan tersebut ditandatangani pada 22 Juni 1945, tepat hari ini 75 tahun lalu, dan dikenal sebagai Piagam Jakarta. Tujuh kata itu sensitif serta dianggap menusuk hati orang-orang Indonesia nonmuslim.

“Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain [….] kalimat ini bisa juga menimbulkan kekacauan...," protes Johannes Latuharhary, dikutip dalam Piagam Jakarta 22 Juni (1981).

Meski golongan Islam mengakui kalimat itu tidak mengikat warga nonmuslim, dan hanya ditujukan kepada rakyat beragama Islam, tetapi bagi Hatta, “tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka (yang) golongan minoritas."

Ancamannya sangat serius, tulis Hatta. “Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia."

Hanya salah satu anggota Panitia Sembilan beragama Kristen; ia adalah A.A. Maramis. Sisanya beragama Islam, dan empat di antaranya mendaku sekuler: Sukarno, Hatta, Achmad Soebardjo, M. Yamin, Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikusno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim.

“Mr. Maramis, yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa, dan pada 22 Juni, ia ikut menandatangannya [...] mungkin waktu itu Mr. Maramis cuma memikirkan, bahwa bagian kalimat itu hanya untuk rakyat Islam yang 90 persen jumlahnya, dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi," pandangan Hatta mengenai Maramis.

Namun, tetap saja, di mata Hatta, “Pembukaan Undang-undang Dasar adalah pokok dari pokok, sebab itu harus teruntuk bagi seluruh bangsa Indonesia dengan tiada kecuali."

Menurut H. Endang Saifuddin Anshari, yang berlatar belakang aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, “Kesembilan penandatangan Piagam Jakarta itu sungguh-sungguh representatif mencerminkan alam dan aliran pikiran dalam masyarakat Indonesia."

Esok harinya, 18 Agustus—tepat hari ke-10 bulan Ramadan 1364 H, Kasman Singodimedjo diminta Sukarno datang untuk membicarakan masalah itu dengan Hatta dan beberapa tokoh lain. Kasman adalah tokoh Islam dari Muhammadiyah.

Dalam buku tentang dirinya, Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun (1982), Kasman berkata bahwa bukan Sukarno yang pagi itu datang untuk bicara dengan dia. Melainkan Hatta dan Mr. Teuku Mohammad Hasan.

Semoga dengan pertanyaan yang sudah terjawab oleh muhlisahlisa1981 dapat membantu memudahkan mengerjakan soal, tugas dan PR sekolah kalian.

Apabila terdapat kesalahan dalam mengerjakan soal, silahkan koreksi jawaban dengan mengirimkan email ke www.yomemimo.com melalui halaman Contact

Last Update: Tue, 06 Jul 21